Selasa, 08 September 2009

filsafat

ALIRAN PEMIKIRAN YANG DIKAJI ADALAH :

Filsafat Pendidikan Perenialisme yang Didukung oleh Idealisme dalam Sistem Pendidikan Nasional

(Mustari, M. Nasir Malik, Anas, Hendra Jaya)

A. Filsafat Perenialisme

Perenialisme merupakan salah satu aliran dalam filsafat pendidikan yang lahir pada abad keduapuluh. Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi atau kekal atau bersifat lestari. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang perubahan atau sesuatu yang baru yang diciptakan dari pandangangan progresivisme.

Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultural. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut dengan melihat nilai-nilai atau prinsip yang telah dijalankan pada masa lampau.

Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal. (dalam http://blog.persimpangan.com/blog/2007/09/27/filafat-perenialisme/)

Dengan kesemrawutan atau adanya kemerosotan kebudayaan pada zaman modern ini maka perenialisme memandang perlu kembali ke zaman dulu dimana prinsip atau nilai-nilai yang telah teruji dapat dikembangkan atau dapat menyelamatkan ketidakberesan pada zaman sekarang ini. Perenialisme lahir akibat menentang aliran progresivisme. Tokoh-tokoh aliran perenialisme adalah Aristoteles, Plato, Thomas Aquinas, Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.

B. Pemikiran Tokoh Filsafat Perenialisme

1. Aristoteles

Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam kehidupan manusia sehari-hari.

Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan social. Sebagai makhluk rohani, manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat mencapainya. Ia menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral. Aristoteles juga menganggap kebahagiaan sebagai tujuan dari pendidikan yang baik. Ia mengembangkan individu secara bulat, totalitas. Aspek-aspek jasmaniah, emosi, dan intelek sama dikembangkan, walaupun ia mengakui bahwa kebahagiaan tertinggi ialah kehidupan berpikir.

2. Plato

Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat dengan ketidakpastian, yaitu fisafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah karena telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya. Menurut Plato, dunia ideal, yang bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Manusia menemukan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral dengan menggunakan akal atau ratio.

Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan. Masyarakat yang ideal adalah masyarakat adil sejahtera. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip idea mutlak, yaitu suatu prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi yang transcendental yang membimbing manusia untuk menemukan criteria moral, politik, dan social serta keadilan. Ide mutlak adalah Tuhan

3. Thomas Aquinas

Thomas berpendapat pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap-tiap individu. Seorang guru bertugas untuk menolong membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan nyata. Menurut J.Maritain, norma fundamental pendidikan adalah :1) Cinta kebenaran, 2) Cinta kebaikan dan keadilan, 3) Kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi, dan 4) Cinta kerjasama

Kaum perenialis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selam berabad-abad : jadi, gagasan-gagasan besar terus memiliki potensi yang paling besar untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di setiap zaman. Selain itu, filsafat perenialis menekankan kemampuan-kemampuan berpikir rasional manusia sehingga membedakan mereka dengan hewan.

4. Mortimer Adler

Mortimer Jerome Adler (28 Desember, 1902 – 28 Juni, 2001) adalah seorang pendidik Amerika, filsuf, dan populer pengarang. Sebagai seorang filsuf dia bekerja dengan Aristotelian dan pikir Thomistic. Adler merujuk pada Nicomachean Ethics Aristotle sebagai "etika akal sehat" dan juga sebagai "satu-satunya filsafat moril yang baik, praktis, dan tak dogmatis".

Adler percaya bahwa masalah moril untuk dipecahkan oleh individu adalah yang sama pada setiap abad, meskipun mereka muncul kepada kami di samaran berbeda. Menurut Adler, enam kondisi yang sangat diperlukan harus dijumpai di usaha untuk memperkembangkan filsafat moril yang baik yang memperbaiki semua kesalahan yang dibuat di waktu modern.

5. Robert Maynard Hutchins

Robert Maynard Hutchins (Maynard Hutchins) (January 17, 1899 – 17 Mei, 1977), adalah seorang filsuf kependidikan, Disamping kepercayaan Hutchins yang menyatakan bahwa sekolah itu sebaiknya merupakan tempat memperoleh gagasan intelektual daripada praktis, dia juga percaya bahwa sekolah sebaiknya bukan hanya tempat untuk memperoleh “nilai” semata. Namun, sebaiknya merupakan suatu lembaga yang memberikan suatu layanan yang dapat menolong mahasiswa dari permasalahan moril dan tingkah laku.

C. Pandangan Perenialisme terhadap Pendidikan Nasional

Ilmu pengetahuan merupakan filsafat yang tertinggi menurut perenialisme, karena dengan ilmu pengetahuan maka seseorang dapat berpikir secara induktif yang bersifat analisa. Sehingga pendidikan menurut perenialisme sangatlah penting untuk bekal manusia sepanjang hayat atau persiapan untuk hidup.

Pandangan perenialisme terhadap pendidikan adalah kembali ke masa lalu atau klasik. Menurut Hutchins (1953) sekalipun terdapat perbedaan lingkungan namun sifat hakiki manusia selalu sama sehingga semua orang memerlukan pendidikan yang sama. Dengan kata lain bahwa sistem atau tujuan pendidikan untuk semua warga adalah relatif sama. Yaitu untuk “meningkatkan harkat manusia sebagai manusia”

Menurut perenialisme penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, orang akan mampu mengenal faktor-faktor dan akan memahami problema yang perlu diselesaikan dan berusaha untuk mengadakan penyelesaian masalahnya. Dengan demikian anak didik akan mempunyai dua keuntungan dalam belajar, yakni: Satu anak-anak akan mengetahui apa yang terjadi pada masa lampau yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar. Dua mereka akan memikirkan peristiwa penting dan karya-karya para tokoh tersebut untuk diri sendiri dan sebagai reverensi zaman sekarang.

Jelaslah bahwa dengan mengetahui dan mengembangkan pemikiran karya-karya buah pikiran para ahli tersebut pada masa lampau, maka anak-anak didik dapat mengetahui bagaimana pemikiran para ahli tersebut dalam bidangnya masing-masing dan dapat mengetahui bagaimana peristiwa pada masa lampau tersebut sehingga dapat berguna bagi diri mereka sendiri, dan sebagai bahan pertimbangan pemikiran mereka pada zaman sekarang ini..

Tugas utama pendidikan adalah mencerdaskan anak didik . Salah satu untuk mencerdaskan anak didik adalah dengan mempersiapkan diri anak mulai dasar. Persiapan dasar ini diperoleh dari pengetahuan tradisional seperti membaca, menulis dan berhitung. Di samping mendapatkan pengetahuan dasar, anak didik juga diharapkan memiliki etika atau moral atau budi pekerti yang mulia yang sesuai dengan agama atau kepercayaan masing-masing. Dimana setiap agama akan memerintahkan hidup mulia, hidup dengan berprilaku baik terhadap sesama, masyarakat, guru maupun orang tua. Akan tetapi dewasa ini telah terjadi krisis moral yang luar biasa yang menyebabkan anak didik berjalan semaunya sendiri tanpa melihat dasar-dasar atau prinsip-prinsip moral yang berlandaskan ajaran agama masing-masing. Dengan melihat kondisi ini maka kita perlu belajar ke masa lalu dimana para anak didik dengan hormatnya dan penuh rasa tanggung jawab terhadap tugasnya masing-masing. Prinsip inilah yang diinginkan oleh perenialisme.

D. Kritik Terhadap Sistem Pendidikan Nasional

Pendidikan nasional Indonesia adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan pratek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh flisafat bangsa Indonesia yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan negara Indonesia guna memperlancar mencapai cita-cita nasional Indonesia.

Arah pendidikan nasional (Fakhri, 2007) terdiri atas 3 stream diantaranya adalah: 1) Education for Democracy (John Dewey), aliran democracy yakni pendidikan sebagai sarana demokrasi. Pendidikan bersifat umum, siswa mengikuti pendidikan tidak ditargetkan untuk menjadi tukang yang siap kerja, tetapi untuk mengetahui dan memahami apa yang terjadi di lingkungannya. 2) Education for earning money for irfe (Charles Prosser), aliran social efficiency pendidikan bagi para siswa yang ingin mengembangkan karier untuk bekerja setelah lulus. 3) Education for all (Paulo Freire) concept of Life long education (pendidikan seumur hidup). Pendidikan Luar Sekolah, pendidikan ditunjuk bagi minoritas, bagi mereka yang tidak mendapatkan kesempatan melalui pendidikan formal.

Kajian mengenai Pendidikan Nasional saat ini, banyak permasalah yang ditemukan. Pendidikan sendiri sebenarnya bisa dilihat dengan sederhana seperti apa yg telah dipaparkan sebelumnya, mulai dari masalah mutu pendidikan itu sendiri (Dikmenjur, 2007), kesejahteraan tenaga pendidik, sistem pendidikan, sampai masalah fasilitas pendidikan. Sebagai contoh Kontroversi pemberlakuan ujian nasional, berbagai tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap muridnya. Peistiwa tawuran antar SMA maupun Perguruan Tinggi, bahkan sampai tingkat SMP, Video-video rekaman tindak kekerasan sesama wanita SMU yang ditonton oleh teman-temannya, Pelecehan seksual dan pemerkosaan yang bukan lagi merupakan hal yang tabu dan memalukan. Penyiaran sinetron-sinetron televisi Indonesia yang dengan baik mendidik para siswa SMA sampai SD tentang hasrat cinta lawan jenis dan menjadikan pelajaran sekolah menjadi pekerjaaan sampingan, selain itulah lahirlah komunitas kosmopolitan dan hedonis macam dance street clubs, dugem club, hippies, anak nongkrong, yang padat oleh aktivitas seni namun jauh dari usaha memperbaiki bangsa. Komunitas yang lahir dengan parameter moralnya sendiri. Generasi yang kebudayaannya dijajah kebudayaan bangsa lain. Generasi yang tercerabut dari akar budayanya. Memposisikan agama dan moral sebagai sesuatu yang teralienasi hal ini bertentangan dengan teori filsafat perenialisme.

Pendidikan nasional bukan lagi menjadi pelindung. Padahal, perubahan global yang pesat menuntut sumber daya manusia cerdas secara intelektual, emosional, spiritual, serta peduli terhadap persoalan lingkungan sekitarnya. Pandangan filsafat perenialisme meganjurkan untuk kembali ke budaya masa lalu yakni dengan kembali kepada ”roh” pendidikan seperti yang diwariskan Ki Hadjar Dewantara dalam tri pusat pendidikan, yaitu pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat, paradigma yang sesuai dengan kepribadian bangsa, menempatkan siswa sebagai subjek pendidikan dan telah di copy paste oleh Malaysia dan Singapura. Namun kenyataannya, pendidikan kita dirasakan belum keluar dari paradigma lama yang menempatkan siswa sebagai obyek pendidikan.

Penekanan pendidikan membekali siswa menjadi manusia yang berkembang dalam multi-intelegensia. Siswa dihargai dari nilai-nilai akademis semata. Sekolah masih dipandang sebagai lembaga yang membelenggu kebebasan siswa untuk bisa memaksimalkan potensi dan kreativitas. Usaha Pemerintah dalam lima tahun terakhir ini, sejak diberlakukannya ujian nasional tahun 2004, terjadi peningkatan mutu yang signifikan. Data statistik yang disodorkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) memperlihatkan bahwa nilai rata-rata ujian nasional mengalami kenaikan dari rata-rata 5,5 menjadi 7,3. Permasalahan bahwa angka-angka tersebut dicapai dengan cara belajar drilling atau penyiapan siswa secara ”mati-matian”. Pokoknya anak sekolah Indonesia bisa lulus mendekati 100 persen dengan tidak mempedulikan apakah konsep-konsep dasar dari setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari siswa itu sungguh-sungguh dipahami dan mampu diaplikasikan dalam kehidupan.

Jika meninjau berita beberapa bulan yang lalu di suatu daerah, yang terjadi pada beberapa sekolah adalah munculnya kecurangan yang dilakukan sekolah. Para guru atas perintah kepala sekolah 'membantu' meluluskan siswa dengan cara yang keliru. Kepala sekolah tidak ingin jika banyak siswanya yang tidak lulus dengan standard nilai tersebut karena akan menurunkan grade sekolah dan kapabilitas sebagai kepala sekolah akan menurun. Ini berkaitan dengan masalah moril lagi yakni tentang nilai-nilai luhur jiwa manusia mengenai kejujuran. Hal inilah yang kemudian bertentangan dengan Hutchins yang menganut aliran perenialisme.

Selama ini dari sekian banyak Peraturan Pemerintah dan perangkat hukum tentang pendidikan nasional, masih belum menemukan blue print yang bisa menunjukkan ke mana arah dunia pendidikan akan dibawa. Setiap pemerintahan berganti maka kebijakan terhadap pendidikan pun turut berganti. Sebagai contoh kurikulum yang dulunya dianggap sangat sesuai dengan semangat otonomi yaitu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), sekarang tidak dapat diterapkan. Kini, kurikulum baru bernama KTSP yang di terapkan.

Jika meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional, konsep-konsep kemandirian sudah lama dicanangkan. Istilah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) sudah sangat dikenal di dunia pendidikan. Mengapa kemandirian tidak juga terwujud? Adakah sesuatu yang salah dalam pelaksanaannya? Mengapa justru generasi lama yang mengenyam sistem pendidikan dengan konsep yang keliru (misalnya dengan hukuman fisik bagi siswa yang melakukan kesalahan) justru memiliki hasil yang lebih memuaskan dibandingkan produk pendidikan dengan konsep yang sudah lebih baik seperti sekarang?

Ketidakpuasan pada apa yang ditawarkan sistem pendidikan yang didesain pemerintah hingga saat ini memang relatif. Akan tetapi, dari realitas inilah harusnya lahir upaya-upaya dan kreativitas menciptakan pola-pola pendidikan masa depan yang tidak membuat anak terbebani saat menemukan kata belajar walaupun secara obyektif tidak semua langkah dan kebijakan pemerintah itu buruk sama sekali. Namun, apa yang diputuskan pemerintah terkait pendidikan belum menyentuh pada hal mendasar yang seharusnya diperbaiki dalam Sistem Pendidikan Nasional yang berlandaskan pada filsafat dan ideology bangsa untuk mewujudkan bentuk pendidikan masa depan yang inovatif dan adaptif.

Daftar Pustaka

http://wijayalabs.blogspot.com/2007/11/filsafat-ilmu-pendidikan.html

http://beritapendidikan.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=20&artid=675

zahrial fakhri.2007.Pendidikan Kejuruan Di Indonesia.http://www.acehforum.or.id/pendidikan-kejuruan-di-t9553.html?

http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/beberapa-aliran-utama-filsafat-pendidikan/

Putu Sudira,MP.2009.GURU AGUNG PENDIDIKAN KEJURUAN.http://blog.uny.ac.id/putupanji/category/uncategorized/

http://education.feedfury.com/content/16333546-filsafat-pendidikan.html

www.philosophypages.com

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. 2007. Bandung: IMTIMA.

_____. Filsafat Perenialisme. http://blog.persimpangan.com/blog/2007/09/27/ filafat-perenialisme/

_____. Aliran Perenialisme. http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/ aliran-perenialisme.html

_____. Filosopis Pendidikan. http://pakguruonline.pendidikan.net/ buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_11.html#top

_____. Filsafat Perenialisme. http://nurulsyaefitri-uin-pbin-2b.blogspot.com/2008/05/ 1-filsafat-perenialisme.html

Joko Ariyanto.2009.(Refleksi Hari Pendidikan Nasional) Menggagas Pendidikan Masa Depan. http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=14146